Monday, March 31, 2008

Eksploitasi SDA Sulawesi Tengah : Untuk Kesejahteraan atau Malapetaka bagi Rakyatnya?

Oleh :

Wilianita Selviana
Propinsi Sulawesi Tengah yang memiliki luas daratan sekitar 6.803.300 Ha dan wilayah perairan laut tiga kali lipat lebih luas dari luas daratan, yakni sekitar 193. 923,75 Km² (193.923.750 Ha)[1]. Potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang sangat kaya di daerah ini ada di berbagai sektor seperti kehutanan, pertambangan dan energi, serta pesisir laut.

Hutan yang merupakan andalan Sulawesi Tengah sepanjang tahun, tidak pernah berhenti dirambah atas nama Pendapatan Asli Daerah (PAD). Salah satu contoh adalah meningkatnya jumlah izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK/HPH), izin Hak Guna Usaha (HGU) untuk perkebunan skala besar dan izin Kuasa Pertambangan yang tersebar di Kab. Banggai, Kab. Morowali, Kab. Tojo Unauna, dan Kab Buol yan mengambil 39,2 % kawasan hutan dari total luas hutan 4.394.941 Hektar[2]. Belum lagi praktek illegal logging dan pembangunan sarana & prasarana yang mengorbankan areal hutan. Angka tersebut bisa jauh lebih besar saat ini.

Sektor energi juga tidak luput dari incaran eksploitasi. Seperti berbagai proyek pembangkit listrik tenaga air yang dibangun dengan harapan dapat menjawab krisis energi listrik saat ini khususnya di Sulawesi Tengah namun bargaining position yang dimiliki pemerintah daerah masih sangat lemah terhadap pihak developer sehingga share energy untuk Sulawesi Tengah hanya bisa 30% dari satu turbin pembangkit pada PLTA Poso[3], selebihnya dikuasai swasta untuk daerah lain yang membayar lebih atas nilai energi yang dihasilkan. Sangat Ironis , sementara lokasi pembangkit dan energi air yang dimanfaatkan ada di Sulawesi Tengah

Selain Hutan dan pertambangan energi, Sulawesi Tengah memiliki perairan laut seluas 193.923,75 kilometer persegi yang banyak terdapat berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya yang tersebar di Teluk Tolo, Teluk Tomini, Selat Makasar dan Laut Sulawesi. Potensi sumberdaya ikan di perairan tersebut kurang lebih sebanyak 330.000 ton per tahun.[4] Untuk memaksimalkan sektor ini maka diupayakan penyediaan infrastruktur pendukung dalam memudahkan investasi /penanaman modal.

Sekilas dari penggambaran tersebut, begitu menjanjikan untuk kesejahteraan secara ekonomi bagi daerah akan tetapi dalam pandangan ekologi, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam begitu mengkhawatirkan. Hal tersebut sangat jelas terlihat dari semangat pegelolaan dan pemanfaatannya secara ekonomi yang lebih mengedepankan eksploitasi sumber daya alam sebesar-besaranya entah untuk kesejahteraan siapa?

Terjadinya deforestrasi hutan yang luar biasa tanpa dibarengi dengan upaya-upaya pemulihan dan rehabilitasi terhadap kondisi hutan, eksploitasi pada sektor pertambangan yang di anggap sebagai jawaban peningkatan PAD dalam nilai yang sangat besar diberikan kemudahan dalam pemberian kesempatan dan proses perizinan, makin memprihatinkan jika 1 unit perusahaan tambang yang beroperasi dapat melepaskan karbon ± 35 juta metrik ton/hari bayangkan berapa tambahan emisi karbon ke atmosfer yang berkontribusi besar terhadap global warming saat ini. Jika persyaratan mengubah hutan lindung terus diperlunak dengan berbagai kebijakan yang pro investasi dan mengabaikan pelestarian lingkungan di daerah ini, bukan tidak mungkin prediksi laju perubahan tutupan hutan menjadi 100ha/tahun pada 2010 mendatang[5] benar-benar akan terjadi.

Jelas bahwa PAD yang dihasilkan dari praktek eksploitasi Sumber Daya Alam selama ini tidak berbanding lurus jika diukur dari tingkat kesejahteraan masyarakat. contoh paling nyata misalnya di Kota Palu sampai dengan tahun 2006 jumlah penduduk miskin mencapai 10.761.334 jiwa dimana justru terjadi peningkatan sebesar 0,03 % dari tahun 2005 yang berjumlah 10.754.000 jiwa (Data BPS penerima dana BLT Tahap I & II). Belum lagi bukti nyata ancaman Bencana Ekologis yang ada di depan mata, sepanjang tahun 2000-2007 terjadi banjir dan longsor di berbagai daerah kabupaten/kota di Sulawesi Tengah dimana pada tahun 2007 justru semakin parah ketika hampir setiap bulan selalu terjadi banjir dan longsor tanpa ada satu daerahpun yang luput. Sementara Pemerintah daerah mengangap ini adalah hal yang biasa dan wajar karena merupakan siklus tahunan, atau hanya karena curah hujan yang tinggi.

Kerusakan lingkungan dan dampaknya bukan hanya akibat kebijakan pemerintah daerah tapi juga pemerintah pusat. Saat ini melalui Peraturan Pemerintah (PP) No.2 Tahun 2008 tentang Jenis Tarif Penerimaan Negara bukan Pajak yang membolehkan kegiatan pembangunan non kehutanan untuk merambah kawasan hutan bahkan kawasan lindung hanya dengan membayar tarif sesuai ketentuan yang berlaku akan berkontribusi langsung terhadap pengrusakan hutan yang lebih besar dan mengundang dampak ekologi yang lebih dahsyat di masa datang.

Demikian juga sektor pesisir dan kelautan, dominasi investasi/modal besar juga diberi ruang yang lebih besar bahkan mengabaikan keberadaan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir yang selama ini menggantungkan hidup sehari-hari pada hasil lautnya. Operasi alat tangkap modern seperti bagan di Teluk Palu juga masih terus berlangsung hingga saat ini sementara ada peraturan daerah yang melarang pengoperasian alat tangkap tersebut. Kemarahan nelayan tradisional yang beramai-ramai melakukan aksi pengusiran dan pembakaran Bagan di Teluk palu yang terletak di wilayah kelurahan Mamboro pada tanggal 24 Juni 2007 lalu, malah dianggap sebagai tindak kriminalitas, sehingga terjadi penangkapan terhadap para nelayan tradisional tersebut, padahal mereka hanya menuntut agar hak dan kedaulatan mereka atas sumber daya pesisir dan laut mereka tidak dirampas. Sekali lagi pertanyaannya, apakah benar eksploitasi SDA yang ada dan marak di Sulawesi Tengah saat ini untuk kesejahteraan rakyatnya atau justru malapetaka?

Kondisi ini yang kemudian penting bagi kita untuk melihat seperti apa dan bagaimana sebenarnya konsep tata ruang Sulawesi Tengah, apakah hanya untuk kepentingan PAD melalui investasi lalu mengabaikan keseimbangan alam ini dan mengancam hidup ratusan juta jiwa penduduknya dengan bencana yang lebih besar akibat praktek eksploitasi Sumber Daya Alam yang destruktif. Kebijakan tata ruang Sulawesi Tengah harusnya bisa sinergi dengan upaya penyelamatan lingkungan dan pengakuan terhadap kedaulatan rakyat atas sumber daya alamnya. Karena salah satu penekanan dari konsep pembangunan berkelanjutan, adalah pembangunan yang senantiasa mempertimbangkan aspek lingkungan dan peningkatan ekonomi masyarakat.

Hutan akan tetap lestari sepanjang manusia memahami berdasar pemikiran dan pengalamannya yang membuktikan bahwa hutan mampu memberikan manfaat secara ekonomi bagi siapa saja yang berkaitan dengannya, secara terus menerus. Kata lain dari manfaat ekonomi secara terus menerus adalah tercapainya kelestarian, sedangkan kelestarian akan tercapai bila terjadi keseimbangan antara pemanfaatan secara ekonomi dengan penjagaan kondisi lingkungan yang memungkinkan hutan bertumbuh sebagai penukar manfaat ekonomi yang dipetik[6], bukan sebagai pembawa bencana akibat ulah manusia yang serakah. Demikian juga dengan pemanfaatan energi air dimana proyek-proyek sumber daya air memiliki dampak lingkungan hidup yang positif, jika praktek pengelolaan air itu mengatur dan menderaskan aliran-aliran air sungai dan aliran air biasa, mengurangi tingkat erosi, mencegah banjir, meniadakan pemborosan air dan banyak ditemukan mengubah padang pasir menjadi kebun - kebun sehingga manusia dapat hidup nikmat dan sejahtera maka hasilnya adalah perbaikian-perbaikan kondisi lingkungan hidup.[7]

Harapan ke depan, kebijakan pemerintah daerah di Sulawesi Tengah tidak hanya memprioritaskan sektor ekonomi yang menggenjot PAD sebesar-besarnya untuk mendatangkan malapetaka bagi rakyatnya dan kesejahteraan bagi sekelompok orang yang memiliki modal saja. Pengabaian terhadap kondisi lingkungan saat ini juga tidak bisa terus dibiarkan karena dampak yang akan ditimbulkan akan jauh lebih besar di masa datang. Jangan sampai PAD yang dihasilkan hari ini justru hanya akan digunakan bagi penanggulangan bencana esok hari hanya karena kita terlalu serakah dan lalai menjaga keseimbangan alam ini. ***


[1] Bappeda Propinsi Sulawesi Tengah, 2007

[2] Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah, 2005

[3] Mercusuar September 2006

[4] Bappeda Propinsi Sulawesi Tengah,2007

[5] ED Walhi Sulawesi Tengah, 2008

[6] F.Dwi Joko Priyono,October 2001

[7] Gilbert G.Stamm (komisaris Biro Perolehan Hak Tanah AS. Th.1975)

No comments: