Tuesday, June 3, 2008

Sulawesi Tengah dalam Kepungan Investasi,

Apakah agenda Penyelamatan Lingkungan masih menjadi Prioritas?

Oleh : Wilianita Selviana

Ancaman degradasi lingkungan terjadi ketika semua sektor dieksploitasi tanpa kontrol lingkungan yang serius. Sulawesi Tengah, selain kaya akan sumber daya alam (SDA) juga memiliki daerah rawan banjir, lahan kritis dan krisis air seperti di Kota Palu, kab. Donggala, kab.Banggai yang sepanjang tahun selalu mengalami bencana banjir dan longsor ketika curah hujan sangat tinggi. Tahun 2007 yang lalu, kabupaten Tojo Una-una, kabupaten Toli-toli, Poso, kab. Parigi Moutong dan kab. Morowali mengalami banjir dan longsor yang luar biasa hingga mengakibatkan kerugian materil yang sangat besar bahkan sampai menelan korban jiwa yang tidak sedikit. Kondisi ini bukan hanya karena akibat curah hujan yang tinggi, akan tetapi merupakan dampak dari pengrusakan lingkungan yang telah berlangsung lama di beberapa titik-titik eksploitasi yang masih beroperasi hingga saat ini maupun yang sudah tidak aktif lagi.



Jika meihat program percepatan pembangunan Sulawesi Tengah yang dicanangkan pada tahun 2007 lalu, penguasaan modal di segala sektor akan semakin besar dengan maraknya investasi yang disetujui oleh pemerintah. Hal ini sangat disayangkan karena tidak dibarengi dengan komitmen penyelamatan lingkungan, sehingga laju investasi di Sulawesi Tengah sejalan dengan laju degradasi lingkungan yang terjadi.

Mari kita lihat sekilas penguasaan modal di beberapa sektor yang ada :

Penguaaan Modal pada sektor Kehutanan

Pemberian izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) masih berlanjut sementara HPH yang ada bermasalah dan tidak di evaluasi serius, kurang lebih 16 perusahaan beroperasi dengan luas areal konsesesi 1.033.245 Hektar, meningkat 2% dari tahun 2005. Adapun penolakan masyarakat atas aktivitas dan izin HPH seperti HPH PT.Tri Tunggal Ebony Corp. di Tojo Kabupaten Tojo Una-una dan HPH PT. Satya Guna Sulajaya di Pagimana kab. Banggai, HPH PT. Sentral Pitulempa di. Kabupaten Toli-toli terkesan diabaikan. Demikian juga dengan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan skala besar seperti perkebuanan kelapa sawit, dimana ekspansi PT.Astra dan PT.Sinar Mas di Kab. Morowali kurang lebih 60.000-70.000 Ha berada di lokasi yang pada tahun 2007 mengalami bencana banjir dan longsor yang sangat hebat. Prediksi Walhi Sulteng pada tahun 2010, laju kerusakan hutan di Sulawesi Tengah 100.000 ha/jam sangat mungkin terjadi melihat kondisi ini.

Penguasaan modal pada sektor Pertambangan

SIPD (Surat Izin Pertambangan Daerah) Galian C hampir di semua daerah tidak dievaluasi serius padahal praktek eksploitatif marak terjadi yang menyebabkan sedimentasi dan pendangkalan sungai serta bibir pantai. Demikian juga dengan kontrak karya Kuasa Pertambangan (KP) yang baru mulai aktif bereksplorasi, sementara yang lama terus melakukan eksploitasi dan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) proyek masih dianggap sebagai dokumen pelengkap semata sehingga pembuatannya bisa sejalan dengan pengerjaan proyek. Hingga saat ini, tercatat ada 102 KP di kab. Morowali, 97 KP di kab. Banggai, 76 KP di kab. Tojo Una-una. Belum lagi perusahaan besar seperti PT. Exxon Mobile Corp. yang sudah mulai eksplorasi di blok Surumana kab. Donggala, PT. Inco Tbk. mulai mengerjakan proyek community developementnya di kab. Poso yang lokasinya berbatasan dengan Propinsi Sulawesi Selatan. Tahapan ini sudah berlangsung sebelum dilakukannya eksplorasi.

Penguasaan modal pada sektor energi

Pembangunan PLTA Poso yang dimulai awal tahun 2005 lalu, banyak mendapat perlawanan akibat proses awal beroperasinya kurang transparan dan memicu konflik antar kampung. Pada tahun 2006 dilakukan pertemuan G to G yang menghasilkan MOU Share Energy antara Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah, PLN dan PT. Poso Energy dimana Sulawesi Tengah mendapat jatah hanya 30 % dari total energi yang dihasilkan oleh satu pembangkit/turbin yaitu PLTA Poso 2. Sementara energi yang dihasilkan dari dua pembangkit lainnya diperuntukan bagi daerah lain yang sudah siap membeli. Selanjutnya dibangun lagi PLTU Mpanau, proyek yang sejak awal seolah dipaksakan keberadaannya ini akhirnya mengalami krisis Batubara ketika harga batubara dunia naik dan jauh di atas nilai kontrak jual beli energi yang dihasilkan dengan PLN. Masih dengan alasan krisis listrik, tahun 2007 kembali lagi perencanaan pembangunan PLTA dilakukan yaitu PLTA Gumbasa, padahal peruntukan energinya belum tentu untuk masyarakat banyak.


Penguasaan Modal pada sektor Perikanan dan Kelautan

Destruktif fishing marak terjadi di beberapa kawasan perairan di sulawesi tengah yang memang kaya akan hasil lautnya dan praktek ini semata-mata untuk mengejar target konsumsi perikanan setiap hari, bahkan memenuhi kebutuhan ekspor. Bahkan pengoperasian alat tangkap yang dikuasai pemilik modal sementara wilayah tangkapannya begitu kecil dianggap sesuatu yang wajar. Bisa kita lihat operasi Bagan di Teluk Palu, sementara Perda Kota Palu no. 9 tahun 2005 tentang alat tangkap, jelas melarang pengoperasian alat tangkap Bagan di Teluk Palu. Sekalipun ada protes dari nelayan tradisional dan kritik keras terhadap operasi bagan ini karena mengancam laju berkurangnya populasi ikan di teluk Palu serta kerusakan biota laut lainnya tetap saja diabaikan.

Melihat kondisi ini, sebaiknya kita prihatin karena fakta kontrol terhadap lingkungan masih sangat lemah. Sehingga patut dipertanyakan apakah agenda penyelematan lingkunan masih menjadi prioritas di tengah kepungan investasi yang menguasai hampir semua sektor? Sementara pendapatan asli daerah (PAD) yang menjadi target eksploitasi Sumber Daya Alam tidak sebanding dengan penghargaan terhadap kepemilikan dan otoritas daerah atas asset tersebut.


Pengabaian terhadap kondisi lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam, sebaiknya menjadi perhatian serius karena ancaman bencana ekologis di masa datang sudah siap menghadang. Demikian juga ancaman terhadap ketahanan pangan dan krisis air ke depan akan menjadi perhatian serius karena ketersediaan lahan bagi masyarakat semakin berkurang akibat ekspansi modal yang sangat besar menguasai lahan-lahan sumber produksi masyarakat. Jangan sampai hanya demi kepentingan PAD, SDA kita dikeruk habis-habisan tanpa menjaga keseimbangan alam dan lingkungan. Kekhawatiran lain adalah ketika bencana terjadi, PAD yang dihasilkan justru hanya akan digunakan untuk biaya penanggulangan bencana bahkan mungkin tidak cukup. Niatnya mengejar untung tapi malah buntung...***

Selamat Hari Lingkungan Hidup (5 Juni 2008)

Penulis adalah Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Tengah.

No comments: