Friday, August 15, 2008


Merdeka! atau Merdeka?
Oleh : Wilianita Selviana




“Kalau mati dengan berani; kalau hidup dengan berani. Kalau keberanian tidak ada, itulah sebabnya setiap bangsa asing bisa jajah kita.”
-Pramoedya Ananta Toer

“Merdeka! Merdeka!” Kata ini sudah tidak asing bagi kita semua apalagi di bulan Agustus, dimana setiap tanggal 17 diperingati sebagai hari kemerdekaan bangsa Indonesia. Pesta dan upacara peringatan peristiwa penting dalam sejarah bangsa ini dilaksanakan hampir di semua pelosok. Semua orang meneriakan kata Merdeka! Bagi para nasionalis hal ini menjadi sesuatu yang wajib.

Tapi mari kita renungkan sejenak, benarkah kita merdeka? Sebab jika mencermati makna dari kata merdeka itu berarti bebas. Bebas menentukan sikap, mengemukakan pendapat, tanpa ada tekanan atau paksaan dari pihak lain.

Lalu jika demikian, pertanyaannya apakah kita sudah merdeka? Merdeka dari kekerasan, merdeka dari kesulitan ekonomi dan kemiskinan,.merdeka dalam berpolitik, merdeka atas pengelolaan sumber daya alam di Negara ini serta merdeka dari bencana ekologis.

Fakta yang ada, tidak menunjukan bahwa kita benar-benar merdeka! Catatan dari 63 tahun yang lalu sejak diproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, praktek tindak kekerasan masih terus terjadi di depan mata hingga 5 tahun terakhir yang meluas menjadi konflik berdarah atas nama kelompok, saling bantai antar warga menjadi tontonan sehari-hari. Hampir di setiap daerah terjadi pertikaian dan tindak kekerasan. Menurut Rieke Diah Pitaloka dalam tesisnya bahwa kekerasan Negara telah menular ke masyarakat.

Kondisi ini masih belum cukup, ketika ditambah kebijakan Negara yang selalu menimbulkan kesulitan ekonomi bagi rakyat. Kebijakan pasar ekonomi liberal yang memaksa rakyat harus berkompetisi dengan daya saing di bawah rata-rata. Pencabutan subsidi BBM yang mengharuskan rakyat membayar harga BBM sesuai standar harga minyak dunia tanpa peduli dengan pendapatan rakyat yang tidak mampu membayar harga itu. Hal ini benar-benar telah memenjarakan rakyat dalam kesulitan ekonomi yang berkepanjangan. Tidak heran kemudian ada kejadian-kejadian seperti bunuh diri ibu dan anak karena kesulitan ekonomi, mati kelaparan di saat sedang berjuang mencari sesuap nasi dengan mengumpulkan kayu bakar. Sementara pejabat Negara justru meributkan kenaikan tunjangan honor dan kebutuhan mereka yang harus dibiayai Negara, sehingga ketika dituduh melakukan korupsi bisa dengan mudah membela diri.

Potret demokrasi bangsa inipun menjadi buram ketika elite politik enggan meninggalkan kursi empuk kekuasaannya. Segala cara menjadi halal dilakukan termasuk praktek money politik & intimidasi psikis maupun fisik menjadi hal yang lumrah. 10 tahun reformasi rupanya belum membawa angin segar terhadap kondisi perpolitikan Negara ini, ibarat hanya berganti baju orangnya masih tetap sama. Lihat saja proses pemilihan kepala daerah (pilkada) di beberapa daerah yang berbuntut sengketa dan pengrusakan asset Negara. Adapun saat ini dibuka alternatif bagi calon independent atau jalur perseorangan namun ada kecenderungan menganggap hal ini ancaman bagi kandidat usungan partai sehingga elite politik partai tidak segan-segan melakukan pencekalan terhadap kandidat jalur perseorangan yang dinilai ‘membahayakan’. Proses demokrasi semakin ternodai sekalipun ada keinginan untuk memperbaiki kondisi politik di Negara ini menjadi lebih baik dan tidak meminggirkan hak-hak rakyat. Lagi-lagi pertanyaanya apakah kita sudah merdeka ketika masih ada kelompok penguasa dan ada kelompok yang tertindas?

Globalisasi yang terjadi di era ini, semakin menyamarkan cita-cita kemerdekaan bangsa yang sesungguhnya. Tuntutan pasar seolah Sesuatu yang harus dipenuhi bahkan ketika rakyat harus terpingirkan hingga terusir dari tanah mereka sendiri yang menjadi sumber kehidupannya. Arus investasi tidak dapat dibendung, praktek jual beli lahan dengan harga rendah, rencana relokasi yang tidak transparan, dampak lingkungan yang akan timbul tidak dibeberkan kepada rakyat yang notabene akan menjadi korban langsung. Saat ini, laju investasi berbanding lurus dengan laju degradasi lingkungan yang dibarengi dengan bencana ekologis. Kondisi ini memaksa rakyat harus menjadi pengungsi di negerinya sendiri karena harus kehilangan harta benda, tempat tinggal dan saudara akibat terjangan banjir longsor, gempa bumi yang memporakporandakan tanah dan rumah mereka. Seolah alampun berontak karena keserakahan manusia selama ini. Ironinya, pemulihan kondisi lingkungan masih belum menjadi prioritas, terbukti dengan kebijakan investasi yang semakin terbuka lebar dan masih belum bisa keluar dari skema global yang memposisikan bangsa ini salah satu target utama eksploitasi sumber daya alam. Sebut saja, kontrak karya dan kuasa pertambangan yang ada tetap beroperasi tanpa dievaluasi sementara yang baru sudah mulai melakukan operasinya sekalipun luas konsesi yang ada hampir tidak menyisakan ruang lagi bagi penghuninya. Bisa kita lihat contoh di kabupaten Morowali Sulawesi Tengah, dimana luas kawasan hutan yang tersedia 984.811 Ha, luas kawasan non Hutan 591.300,84 Ha sementara total luas konsesi di daerah ini untuk IUUPHHK/HPH/IPK, HGU dan Kontrak Karya serta Kuasa Pertambangan mencapai 482.231 Ha dan ada kemungkinan untuk bertambah lagi jika paradigma pembangunan masih belum berubah yang hanya mempertimbangkan sektor ekonomi semata. Apakah ini bentuk lain dari penjajahan yang mengusir rakyat dari tanah mereka sendiri?

Fakta ini memprihatinkan bagi kita semua, dan kita tidak bisa hanya jadi penonton jika Negara ini adalah tanah air kita yang harus dipertahankan. Rakyat harus berdaulat penuh atas Negara ini baru kita benar-benar merdeka. Sehingga kata “Merdeka!” itu bisa dengan lantang diteriakan bukan lagi setangah suara bernada putus asa “Merdeka?” tapi harus “Merdeka!, Merdeka!” dan memang benar-benar merdeka. Ungkapan Pramoedya di atas mungkin bisa menyemangati kita akan makna kemerdekaan yang sebenarnya harus direbut.

Selamat Memperingati HUT Proklamasi RI ke-63 (17 Agustus 2008)
Penulis adalah Direktur Eksekutif Daerah
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Tengah

No comments: