Thursday, August 28, 2008

Sulteng Expo di Tengah Carut Marut Penanganan Bencana

* Oleh : Wilianita Selviana

Program percepatan pembangunan di Sulawesi Tengah telah disetujui oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 17 Agustus 2008 yang lalu melalui Inpres No. 7 tahun 2008 tentang Program Percepatan Pembangunan Sulteng 2008-2010. Setelah sebelumnya dilakukan Sulteng Expo di Jakarta pada bulan Juli 2008 lalu menyusul di Palu saat ini 26-30 Agustus 2008 adalah merupakan rangkaian proses untuk mewujudkan percepatan pembangunan di Sulawesi Tengah. Harapan dari diselenggarakannya Sulteng Expo adalah menjaring investor yang bisa mensejahterakan rakyat Sulawesi Tengah. Berbagai hal yang memaparkan segala keunggulan di Sulawesi Tengah (Sulteng) yang dapat dijadikan komoditi ekonomi di gelar pada acara expo ini.

Sementara kondisi lain yang bertolak belakang dengan Sulteng Expo adalah bencana banjir dan longsor yang terjadi hampir di seluruh wilayah Sulawesi Tengah yang menjadi langganan bencana 3 tahun terakhir. Kondisi ini menjadi semakin parah pada pertengahan tahun 2008 dimana bukan hanya menimbulkan korban jiwa saja tapi lahan pertanian masyarakat juga sarana dan prasarana seperti jembatan dan jalan poros rusak total, yang kemudian memutus jalur transportasi antar wilayah kabupaten/kota. Dari hasil pantauan media tercatat lebih dari 100 kali terjadi banjir dan longsor sepanjang tahun 2007-2008 hampir di semua wilayah kabupaten/kota di Sulawesi Tengah. Penyebabnya selain akibat curah hujan tinggi yang diduga karena perubahan iklim (climate change) juga akibat laju deforestasi Sulawesi Tengah yang hampir mencapai 100.000 Ha per tahun (Walhi Sulteng, 2008).

Hal lain yang juga seharusnya dianggap bencana adalah pemadaman listrik yang terjadi setiap hari. Hal ini menyebabkan makin buruknya kondisi perekonomian daerah karena hampir semua sektor usaha memiliki ketergantungan yang besar terhadap energi listrik. Pemadaman listrik juga memicu terjadinya kebakaran di sejumlah rumah warga akhir-akhir ini yang sebagian besar disebabkan oleh penggunaan lilin sebagai alat ganti penerangan. Kerugian sektor usaha ekonomi yang besar dirasakan oleh pelaku usaha maupun rumah tangga saat ini, sebenarnya sudah dapat juga dikategorikan bencana. Pemerintah Daerah (Pemda) seharusnya mengeluarkan anggaran sosial daerah untuk mengatasi hal ini. Bukan justru berdebat siapa yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi seperti saling lempar tanggung jawab antara pemerintah provinsi (Pemprov) dan pemerintah kota (Pemkot) Palu saat ini.

Kebijakan energi daerah yang simpang siur dimana terjadi saling tuding antar pihak Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sulawesi Tengah dengan pihak Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mpanau yang selama ini bekerja sama untuk suply energi listrik di wilayah ibukota propinsi juga turut berpengaruh menjadikan warga korban utama. Begitu pula dengan PLTA Poso 2 yang akan segera beroperasi, Sulawesi Tengah hanya mendapat ’jatah’ 30 % dari total energi yang dihasilkan, itupun tetap dengan prinsip jual beli. Artinya Sulawesi Tengah juga harus membayar energi yang dihasilkan dari PLTA Poso 2 sebagiamana konsumen lainnya di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara yang membeli energi listrik dari PLTA Poso 2.

Namun ketidak jelasan posisi tawar yang dimiliki oleh Pemda Sulteng, seperti pada proyek PLTU Mpanau dan PLTA Poso tidak dijadikan bahan evaluasi untuk proyek lainnya. Terbukti saat ini segera dibangun PLTA Gumbasa di Kabupaten Donggala, masih dengan alasan yang sama yaitu krisis energi. Lagi-lagi pihak swasta menjadi sandaran pemda. Lalu kemana dana-dana APBD yang dianggarkan untuk kesejahteraan rakyat selama ini? Proses penyelesaian krisis yang instan seperti ini, selalu menjadi pilihan utama ketimbang kebijakan yang berperspektif jangka panjang dan berkelanjutan.

Jika berkunjung ke arena Sulteng Expo dan membandingkan kondisi terkini Sulawesi Tengah, adalah dua hal yang saling bertolak belakang. Perbaikan kondisi Lingkungan, Sosial dan Ekonomi di Sulawesi Tengah seharusnya dimulai dengan pembenahan dari dalam bukan dari luar. Apalah artinya investasi besar-besaran masuk ke daerah ini jika ternyata berbanding terbalik dengan kondisi yang diharapkan. Posisi tawar pemda yang lemah dan ketidakkompakan antar pengambil kebijakan di daerah ini, dalam merumuskan kebijakan yang berdampak positif untuk jangka panjang tanpa mengutamakan proses instan sudah harus dilakukan saat ini.

* Penulis adalah Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sulawesi Tengah

No comments: