Friday, October 25, 2013

Danau Poso dan Kongkalikong “Tuan Tanah”




*Oleh : Wilianita Selviana
 


Menikmati pagi di tepian danau Poso begitu damai dan penuh energi positif hingga setiap orang yang berada di sekitarnya pasti akan dipapar energi ini. Sore haripun sama, ketika sang surya perlahan menghilang, pemandangan menakjubkan di tepian Danau Poso begitu menggugah rasa syukur pada Yang Kuasa atas anugerah yang luar biasa ini.

Begitu memikatnya pesona Danau Poso, hingga para pegiat aktivitas outdoor ataupun penggemar traveling menentukan Danau Poso sebagai salah satu lokasi tujuan yang wajib untuk dikunjungi. Rupanya daya pikat Danau Poso bukan hanya memikat para petualang dan traveler saja, tetapi juga para pebisnis bahkan pejabat yang meliriknya dari sisi potensi ekonomi.

Memang sangat menjanjikan jika pariwisata Danau Poso dikelola dan dikembangkan secara serius oleh pemerintah daerah baik Propinsi maupun Kabupaten. Namun sepuluh tahun terakhir rupanya upaya ini memang tidak diseriusi bahkan terkesan terjadi pembiaran, terbukti dengan semrawutnya wilayah pesisir Danau Poso juga sarana dan prasarana yang tersedia. Sementara pihak swasta begitu leluasa mengkapling-kapling lokasi strategis di seputaran Danau Poso untuk pengembangan bisnisnya atau sekedar investasi asset semata. 

Rupanya praktek-praktek penguasaan lahan oleh pihak swasta yang melibatkan oknum pejabat di daerah ini sudah berlangsung cukup lama namun baru mencuat ke permukaan ketika proses Pembangunan Dermaga ASDP Tentena dipermasalahkan. Lokasi pembangunan dermaga tersebut ternyata adalah hibah dari pemerintah Propinsi Sulawesi Tengah kepada pemerintah Kabupaten Poso pada tahun 2010 yang lalu namun kemudian dalam proses pembangunannya, lokasi tersebut dipindahkan ke lokasi lain yang sudah dipertukargulingkan dengan alasan kelayakan berdasarkan pertimbangan teknis. Dalam prosesnya kemudian, dermaga ini dibangun sangat dekat dengan lokasi situs Watu Mpangasa Angga yang selama ini menjadi salah satu daya tarik objek wisata di Danau Poso. Selain itu, lokasi ini merupakan habitat asli ikan-ikan endemik Danau Poso  seperti rono (Egg carrying buntingi) dan bungu (Weberogobius amadi) yang saat ini mulai terancam keberadaannya. Bagi para nelayan, tak jauh dari situ adalah lokasi pemancingan strategis dimana mereka menggantungkan hidupnya sehari-hari. Terbayang kemudian ancaman kedepan ketika dermaga ASDP tersebut selesai dibangun dan beroperasi. 

Masalah pembangunan dermaga ini rupanya tidak hanya itu saja, lokasi awal yang merupakan hibah ini dipermasalahkan oleh pemerintah propinsi karena pemanfaatannya tidak sesuai dengan peruntukannya. Pada pertemuan multistakeholder yang digelar di Hotel Pamona Indah Tentena pada tgl. 24 Oktober 2013 yang lalu, ada sejumlah faktayang terungkap bahwa di lokasi awal perencanaan pembangunan dermaga ini telah berlangsung aktivitas pembangunan oleh pihak lain (baca : bukan pemkab) jauh sebelum ada usulan dari pemerintah kabupaten Poso kepada pemerintah Propinsi agar menghibahkan lokasi tersebut untuk pembangunan dermaga demi kepentingan masyarakat di wilayah sekitar Danau Poso. Lokasi ini kemudian dipagari serta digembok dengan alasan telah berganti kepemilikan. Sementara pada saat proses peralihan asset pemerintah propinsi ke pemerintah kabupaten, pemerintah kabupaten tidak langsung mencatatkan asset tersebut dalam buku register asset daerah. Fakta-fakta inilah yang menimbulkan sejumlah dugaan bahwa kongkalikong para “tuan tanah” yang adalah oknum-oknum pejabat daerah ini, terindikasi melakukan kesengajaan bahkan pembiaran dalam proses peralihan maupun penguasaan asset daerah untuk tujuan pengaburan asset di masa mendatang, agar ketika asset tersebut diinventarisir kembali bisa dilaporkan keberadaannya tidak diketahui lagi alias hilang. 

Kekhawatiran lainpun muncul, ketika saat ini sedang berlangsung sebuah event daerah yaitu Festival Danau Poso (FDP) ke XVI pada tgl. 25-27 Oktober 2013. Selama beberapa tahun terakhir festival ini tak lagi menarik dan seperti kehilangan spirit budaya yang sesungguhnya. Baik pemerintah propinsi maupun kabupaten sering saling tuding ketika output dari kegiatan ini mengecewakan. Salah satu alasannya adalah masalah kewengangan yang masih terpusat pada pemerintah propinsi sehingga pemerintah kabupaten kurang bisa leluasa berkreativitas dalam event ini, hingga mencuat gagasan sebaiknya event ini beserta lokasinya dihibahkan sepenuhnya kepada pemerintah kabupaten. Namun adakah jaminan keberhasilan jika benar-benar dalam kewenangan penuh pemerintah kabupaten atau justru menjadi modus baru kongkalikong penghilangan asset daerah seperti kasus yang sudah terjadi.
Kasus Kongkalikong ini sangat memungkinkan banyak celah bagi para “tuan tanah” untuk menguasai serta memperdagangkan asset daerah dalam hal ini tanah atau lokasi di seputaran wilayah Danau Poso semata-mata untuk kepentingan pribadi mereka atau kelompoknya dengan menggadaikan kepentingan umum atau masyarakat yang hidup dan menggantungkan hidupnya di wilayah Danau Poso.

Kasus ini juga, semoga menjadi pembelajaran penting bagi masyarakat, pemerintah daerah juga pelaku bisnis agar lebih arif dan bijak menentukan kebijakan, memberikan keputusan serta menyetujui berbagai rencana pembangunan di wilayah ini tanpa perlu mengorbankan masyarakat juga lingkungan sekitar Danau Poso. Sehingga pesona Danau Poso tak meredup bahkan lenyap di Masa mendatang. *** 

No comments: