*Oleh : Wilianita Selviana
Menikmati pagi di tepian danau Poso begitu damai dan penuh
energi positif hingga setiap orang yang berada di sekitarnya pasti akan dipapar
energi ini. Sore haripun sama, ketika sang surya perlahan menghilang,
pemandangan menakjubkan di tepian Danau Poso begitu menggugah rasa syukur pada
Yang Kuasa atas anugerah yang luar biasa ini.
Begitu memikatnya pesona Danau Poso, hingga para pegiat
aktivitas outdoor ataupun penggemar traveling menentukan Danau Poso sebagai
salah satu lokasi tujuan yang wajib untuk dikunjungi. Rupanya daya pikat Danau
Poso bukan hanya memikat para petualang dan traveler
saja, tetapi juga para pebisnis bahkan pejabat yang meliriknya dari sisi
potensi ekonomi.
Memang sangat menjanjikan jika pariwisata Danau Poso dikelola
dan dikembangkan secara serius oleh pemerintah daerah baik Propinsi maupun Kabupaten.
Namun sepuluh tahun terakhir rupanya upaya ini memang tidak diseriusi bahkan
terkesan terjadi pembiaran, terbukti dengan semrawutnya wilayah pesisir Danau
Poso juga sarana dan prasarana yang tersedia. Sementara pihak swasta begitu
leluasa mengkapling-kapling lokasi strategis di seputaran Danau Poso untuk
pengembangan bisnisnya atau sekedar investasi asset semata.
Rupanya praktek-praktek penguasaan lahan oleh pihak swasta yang
melibatkan oknum pejabat di daerah ini sudah berlangsung cukup lama namun baru
mencuat ke permukaan ketika proses Pembangunan Dermaga ASDP Tentena
dipermasalahkan. Lokasi pembangunan dermaga tersebut ternyata adalah hibah dari
pemerintah Propinsi Sulawesi Tengah kepada pemerintah Kabupaten Poso pada tahun
2010 yang lalu namun kemudian dalam proses pembangunannya, lokasi tersebut
dipindahkan ke lokasi lain yang sudah dipertukargulingkan dengan alasan kelayakan
berdasarkan pertimbangan teknis. Dalam prosesnya kemudian, dermaga ini dibangun
sangat dekat dengan lokasi situs Watu Mpangasa Angga yang selama ini menjadi
salah satu daya tarik objek wisata di Danau Poso. Selain itu, lokasi ini
merupakan habitat asli ikan-ikan endemik Danau Poso seperti rono (Egg carrying buntingi) dan bungu (Weberogobius amadi) yang
saat ini mulai terancam keberadaannya. Bagi para nelayan, tak jauh dari situ
adalah lokasi pemancingan strategis dimana mereka menggantungkan hidupnya
sehari-hari. Terbayang kemudian ancaman kedepan ketika dermaga ASDP tersebut
selesai dibangun dan beroperasi.
Masalah pembangunan dermaga ini rupanya tidak hanya itu saja,
lokasi awal yang merupakan hibah ini dipermasalahkan oleh pemerintah propinsi
karena pemanfaatannya tidak sesuai dengan peruntukannya. Pada pertemuan
multistakeholder yang digelar di Hotel Pamona Indah Tentena pada tgl. 24
Oktober 2013 yang lalu, ada sejumlah faktayang terungkap bahwa di lokasi awal
perencanaan pembangunan dermaga ini telah berlangsung aktivitas pembangunan
oleh pihak lain (baca : bukan pemkab) jauh sebelum ada usulan dari pemerintah
kabupaten Poso kepada pemerintah Propinsi agar menghibahkan lokasi tersebut
untuk pembangunan dermaga demi kepentingan masyarakat di wilayah sekitar Danau
Poso. Lokasi ini kemudian dipagari serta digembok dengan alasan telah berganti
kepemilikan. Sementara pada saat proses peralihan asset pemerintah propinsi ke pemerintah kabupaten, pemerintah
kabupaten tidak langsung mencatatkan asset
tersebut dalam buku register asset
daerah. Fakta-fakta inilah yang menimbulkan sejumlah dugaan bahwa kongkalikong
para “tuan tanah” yang adalah oknum-oknum pejabat daerah ini, terindikasi
melakukan kesengajaan bahkan pembiaran dalam proses peralihan maupun penguasaan
asset daerah untuk tujuan pengaburan asset di masa mendatang, agar ketika asset tersebut diinventarisir kembali bisa
dilaporkan keberadaannya tidak diketahui lagi alias hilang.
Kekhawatiran lainpun muncul, ketika saat ini sedang berlangsung
sebuah event daerah yaitu Festival
Danau Poso (FDP) ke XVI pada tgl. 25-27 Oktober 2013. Selama beberapa tahun
terakhir festival ini tak lagi menarik dan seperti kehilangan spirit budaya yang
sesungguhnya. Baik pemerintah propinsi maupun kabupaten sering saling tuding
ketika output dari kegiatan ini
mengecewakan. Salah satu alasannya adalah masalah kewengangan yang masih
terpusat pada pemerintah propinsi sehingga pemerintah kabupaten kurang bisa
leluasa berkreativitas dalam event
ini, hingga mencuat gagasan sebaiknya event
ini beserta lokasinya dihibahkan sepenuhnya kepada pemerintah kabupaten. Namun
adakah jaminan keberhasilan jika benar-benar dalam kewenangan penuh pemerintah
kabupaten atau justru menjadi modus baru kongkalikong penghilangan asset daerah seperti kasus yang sudah
terjadi.
Kasus Kongkalikong ini sangat memungkinkan banyak celah bagi
para “tuan tanah” untuk menguasai serta memperdagangkan asset daerah dalam hal ini tanah atau lokasi di seputaran wilayah
Danau Poso semata-mata untuk kepentingan pribadi mereka atau kelompoknya dengan
menggadaikan kepentingan umum atau masyarakat yang hidup dan menggantungkan
hidupnya di wilayah Danau Poso.
Kasus ini juga, semoga menjadi pembelajaran penting bagi
masyarakat, pemerintah daerah juga pelaku bisnis agar lebih arif dan bijak
menentukan kebijakan, memberikan keputusan serta menyetujui berbagai rencana
pembangunan di wilayah ini tanpa perlu mengorbankan masyarakat juga lingkungan
sekitar Danau Poso. Sehingga pesona Danau Poso tak meredup bahkan lenyap di
Masa mendatang. ***
No comments:
Post a Comment