Tuesday, October 22, 2013

FDP, Budaya Sebatas “Tontonan”


*Oleh : Wilianita Selviana
 
Sudah lama ingin bercuap-cuap tentang Festival ini, tapi baru saat ini benar-benar fokus menuangkannya lewat tulisan. Mungkin juga karena sebentar lagi festival ini segera terselenggara, saya akhirnya termotivasi untuk sedikit ‘mengomentarinya’.
Tak seperti tahun kemarin, pelaksanaan Festival Danau Poso (FDP) tahun 2013 ini maju sebulan lebih awal yaitu Bulan Oktober. Entah kendala apa sehingga penetapan waktu pelaksanaan tidak lagi konsisten, yang pasti setiap tahun festival ini diagendakan daerah. Tak semenarik dulu, event ini bukan lagi ajang berkumpul dan mempererat silahturahmi antar berbagai etnis/sub etnis di Sulawesi Tengah. Saat ini FDP hanya sebagai event “rutinitas” dari pemerintah daerah. Masyarakat lokalpun tidak lagi menjadi bagian penting dari kegiatan ini, selain sebagai pengisi acara pada ceremonial pembukaan dan penutupan atau sekedar diharuskan membersihkan pekarangan rumahnya untuk menimbulkan kesan baik bagi tamu-tamu yang akan datang berpartisipasi.
Ingatan saya kembali ke enam belas tahun lalu (sebelum konflik Poso terjadi), ketika itu FDP menjadi ajang yang paling dinanti-nantikan oleh semua orang terutama masyarakat lokal Tentena, Kabupaten Poso dan sekitarnya. Pagelaran budaya yang menampilkan drama musikal cerita rakyat dari berbagai perwakilan kabupaten yang hadir adalah acara favorit pengunjung lokasi FDP karena banyak legenda asal usul daerah diceritakan dalam pentas tersebut sehingga menambah pengetahuan budaya yang sangat  berharga bagi masyarakat.
Ketika itu cerita rakyat yang menarik perhatian saya adalah kisah ‘Torandaue’ yang berasal dari daerah Pamona dan mengisahkan legenda Danau Poso. Sebagai orang Poso, saya baru mengetahui cerita tersebut pada saat mengunjungi FDP dan menonton pagelaran yang dimaksud. Berbeda dengan beberapa tahun terakhir ini, pelaksanaan FDP pasca Konflik Poso seperti bergeser  dari nilai-nilai pelestarian budaya yang sesungguhnya. Belakangan ini, FDP Hanya sebatas menghadirkan tontonan yang bisa meramaikan susasana sekaligus menghibur. Saya semakin heran lagi, ketika tahu yang menjadi acara utama kegiatan ini adalah pemilihan Putra dan Putri Pariwisata yang kurang lebih sama seperti ajang pemilihan Abang None Jakarta, Cak Ning Surabaya yang juga banyak digelar di daerah lain, sayapun jadi bertanya-tanya apa istimewanya acara ini?
Sebelas duabelas dengan Danau Poso yang menjadi icon festival ini, tak lebih dari sekedar dicatut namanya saja. Bagaimana tdak, dari tahun ke tahun kondisi Danau Poso makin memprihatinkan. Danau yang terletak pada ketinggian 657 mdpl ini, merupakan salah satu Danau terindah di dunia dengan Pasir putih yang terdapat pada tepi sampai Dasar Danau, airnya bening dan pemandangan di sekitarnya sangat memikat. Tapi sampai hari ini tak satupun agenda Festival Danau Poso yang mengesankan upaya pelestarian Danau Poso, termasuk situs budaya Poso yang ada di sekitarnya seperti Watu mpangasa angga, Goa Pamona, Goa Latea, Taman Anggrek Bancea dan masih banyak lagi yang saat ini terancam hilang atau rusak karena tak terawat.
Fakta ini yang kemudian menjadi bahan obrolan saya dengan banyak kawan pemuda dan mahasiswa di seputaran Tentena, menurut mereka hal inilah yang menjadi salah satu pemicu generasi muda saat ini seperti kehilangan identitas, lebih jelasnya lagi kehilangan rasa kebanggaan atas daerahnya, tanah kelahirannya yang mungkin sebentar lagi tinggal sejarah. Karena ternyata bagi mereka, Budaya hanya sebatas Tontonan dan FDP membuktikannya. ###

*) penulis adalah ibu Rumah Tangga, masyarakat Tentena Kab. Poso

No comments: