*Oleh : Wilianita Selviana
Sudah
lama ingin bercuap-cuap tentang Festival ini, tapi baru saat ini benar-benar
fokus menuangkannya lewat tulisan. Mungkin juga karena sebentar lagi festival
ini segera terselenggara, saya akhirnya termotivasi untuk sedikit
‘mengomentarinya’.
Tak seperti tahun kemarin, pelaksanaan Festival Danau Poso (FDP) tahun
2013 ini maju sebulan lebih awal yaitu Bulan Oktober. Entah kendala apa
sehingga penetapan waktu pelaksanaan tidak lagi konsisten, yang pasti setiap
tahun festival ini diagendakan daerah. Tak semenarik dulu, event ini bukan lagi ajang berkumpul dan mempererat silahturahmi
antar berbagai etnis/sub etnis di Sulawesi Tengah. Saat ini FDP hanya sebagai event “rutinitas” dari pemerintah
daerah. Masyarakat lokalpun tidak lagi menjadi bagian penting dari kegiatan
ini, selain sebagai pengisi acara pada ceremonial
pembukaan dan penutupan atau sekedar diharuskan membersihkan pekarangan
rumahnya untuk menimbulkan kesan baik bagi tamu-tamu yang akan datang
berpartisipasi.
Ingatan
saya kembali ke enam belas tahun lalu (sebelum konflik Poso terjadi), ketika
itu FDP menjadi ajang yang paling dinanti-nantikan oleh semua orang terutama
masyarakat lokal Tentena, Kabupaten Poso dan sekitarnya. Pagelaran budaya yang
menampilkan drama musikal cerita rakyat dari berbagai perwakilan kabupaten yang
hadir adalah acara favorit pengunjung lokasi FDP karena banyak legenda asal
usul daerah diceritakan dalam pentas tersebut sehingga menambah pengetahuan
budaya yang sangat berharga bagi
masyarakat.
Ketika itu
cerita rakyat yang menarik perhatian saya adalah kisah ‘Torandaue’ yang berasal
dari daerah Pamona dan mengisahkan legenda Danau Poso. Sebagai orang Poso, saya
baru mengetahui cerita tersebut pada saat mengunjungi FDP dan menonton
pagelaran yang dimaksud. Berbeda dengan beberapa tahun terakhir ini,
pelaksanaan FDP pasca Konflik Poso seperti bergeser dari nilai-nilai pelestarian budaya yang
sesungguhnya. Belakangan ini, FDP Hanya sebatas menghadirkan tontonan yang bisa
meramaikan susasana sekaligus menghibur. Saya semakin heran lagi, ketika tahu yang
menjadi acara utama kegiatan ini adalah pemilihan Putra dan Putri Pariwisata
yang kurang lebih sama seperti ajang pemilihan Abang None Jakarta, Cak Ning
Surabaya yang juga banyak digelar di daerah lain, sayapun jadi bertanya-tanya
apa istimewanya acara ini?
Sebelas duabelas dengan
Danau Poso yang menjadi icon festival
ini, tak lebih dari sekedar dicatut namanya saja. Bagaimana tdak, dari tahun ke
tahun kondisi Danau Poso makin memprihatinkan. Danau yang terletak pada
ketinggian 657 mdpl ini, merupakan salah satu Danau terindah di dunia dengan
Pasir putih yang terdapat pada tepi sampai Dasar Danau, airnya bening dan
pemandangan di sekitarnya sangat memikat. Tapi sampai hari ini tak satupun
agenda Festival Danau Poso yang mengesankan upaya pelestarian Danau Poso, termasuk
situs budaya Poso yang ada di sekitarnya seperti Watu mpangasa angga, Goa
Pamona, Goa Latea, Taman Anggrek Bancea dan masih banyak lagi yang saat ini
terancam hilang atau rusak karena tak terawat.
Fakta
ini yang kemudian menjadi bahan obrolan saya dengan banyak kawan pemuda dan
mahasiswa di seputaran Tentena, menurut mereka hal inilah yang menjadi salah
satu pemicu generasi muda saat ini seperti kehilangan identitas, lebih jelasnya
lagi kehilangan rasa kebanggaan atas daerahnya, tanah kelahirannya yang mungkin
sebentar lagi tinggal sejarah. Karena ternyata bagi mereka, Budaya hanya
sebatas Tontonan dan FDP membuktikannya. ###
*) penulis adalah ibu Rumah
Tangga, masyarakat Tentena Kab. Poso
No comments:
Post a Comment