Monday, March 26, 2018

'Bola Liar' Politik Rencana Make Over Yondompamona


*Wilianita Selviana

Jembatan Tua Pamona atau dalam bahasa lokalnya yondompamona hampir 2bulan ini memang sedang menjadi topik hangat perbincangan to poso 'orang poso' di medsos, warung kopi bahkan di komunitas-komunitas muda yang merasa resah dan peduli dengan rencana pemerintah kabupaten Poso yang akan melakukan 'make over' atau melakukan perbaikan dengan 'sedikit' perubahan pada jembatan tua pamona yang merupakan saksi sejarah budaya tana poso.

Rencana ini sebenarnya sudah ada sejak 2016 lalu dan sudah dilakukan sosialisasi 'terbatas' pada tahun 2017. Kembali menghangat tahun ini ketika banyak pihak mengemukakan keberatannya karena arus informasi yang tidak berimbang atau sepenggal-sepenggal terkait hal ini.

Menjadi lebih menarik kemudian ketika beberapa kontestan pemilu atau bisa juga disebut para politisi ikut terlibat beradu argumen terkait rencana proyek ini. Lalu yang lain mulai melihat bahwa berbagai pendapat tersebut sarat kepentingan karena momentnya pas di tahun ini, tahun menuju suksesi 2019 dan 2020.  Wajar jika hal ini disebut-sebut 'bola liar' siapa saja punya peluang menjadi penendangnya.

Hanya saja tidak elok rasanya jika rakyat atau masyarakat tidak diberi ruang, seolah ini hanya permainan bagi para 'petinggi' saja warga hanya jadi penonton dan pasrah dengan hasil akhir dari proses perebutan 'bola liar' ini.

Kehadiran sebuah Front yang diinisiasi dari masyarakat merespon rencana proyek ini menjadikan perebutan bola liar ini semakin seru. Banyak spekulan mulai menduga-duga hingga berasumsi front ini merupakan bagian dari upaya 'pelemahan' pemerintahan DAS (Darmin Agustinus Sigilipu) Bupati Poso yang terpilih tahun 2015 lalu, sebab rencana make over Yondompamona merupakan ide dari pemerintahan saat ini. Dengan dalih pengembangan pariwisata, Pemerintah Daerah Kabupaten Poso menyetujui 'kolaborasi' bersama PT. Poso Energi yang akan melaksanakan proyek Poso River Improvement (PRI) --> penataan sungai di lokasi yang sama yaitu hulu sungai Poso (danau Poso).

Perdebatan dampak sosial, budaya dan lingkungan yang akan timbul akibat proyek kolaborasi ini, menjadikan 'bola liar' makin berbobot dan seksi diperebutkan. Lagi-lagi di bawah ke ranah Politik, soal mendukung dan tidak mendukung kebijakan pembangunan oleh pemerintah. Front yang hadir mencoba memberi informasi yang berimbang kepada masyarakat justru 'dituduh' sebagai tunggangan politik kelompok tertentu.

Memang kemudian, banyak pihak menjadikan polemik ini sebagai panggung politik merebut simpati masyarakat namun jangan sampai keinginan besar masyarakat sekitar lokasi rencana proyek kolaborasi tersebut menjadi samar-samar apalagi hingga tertutupi hanya karena sepak terjang berbagai 'bendera' kontestan pemilu yang mencari peluang menggiring 'bola liar' ini untuk pundi-pundi kesuksesan 2019 yang akan datang.

Bola liar ini boleh saja terus diperebutkan tapi suara-suara pilu masyarakat jangan di kesampingkan, agar pemilu kali ini juga membawa perubahan baik yang berarti bagi daerah ini. Selain itu, masyarakat kabupaten Poso juga harus tercerdaskan dalam proses politik yang terjadi saat ini, agar kemudian tidak melulu menjadi objek politik yang hanya kebagian peran di bilik suara pada hari pencoblosan.

Begitupun dengan suara-suara kritis yang lahir dari masyarakat harus disyukuri dan dipahami sebagai bagian dari proses berdemokrasi yang sehat bukan justru dicemooh atau berusaha dibungkam tanpa mencoba memahami maksud dari kata-kata yang disampaikan.

Biarlah Yondompamona yang jadi bola liarnya, jangan masyarakat kabupaten Poso. Berpolitik yang santun, jujur, adil dan transparan itu memuliakan masyarakatnya bukan memanipulasi masyarakatnya. **

*penulis adalah warga Tentena kab. Poso

No comments: